Tentang Kami
Halaman yang berisi sejarah DPI Dewan Periklanan Indonesia.

Tentang DPI
Dewan Periklanan Indonesia (DPI) adalah lembaga independen dan non-government, yang didentuk oleh komunitas periklanan Indonesia.
Secara resmi DPI berdiri sejak tanggal 17 September 1981, bertepatan dengan diikrarkannya untuk kali pertama Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI).
Pengikrarkan tersebut dilakukan di hadapan Menteri Penerangan RI oleh tujuh asosiasi dan satu yayasan. Mereka mewakili pengiklan, perusahaan periklanan, dan media.
Visi
Menjadi lembaga independen yang berwibawa dan berdaya guna bagi anggota, industri periklanan, bangsa dan negara serta antisipatif terhadap perubahan dan perkembangan nasional maupun internasional.
Misi
- Mengembangkan profesionalisme yang setinggi-tingginya bagi para pelaku periklanan nasional sejajar dengan tuntutan industri periklanan dunia.
- Menghimpun, mengembangkan, dan memberdayakan seluruh asset dan potensi periklanan nasional segingga industri periklanan berkembang dan berwibawa di tingkat nasional maupun internasional.
- Menciptakan iklim usaha yang kondusif melalu penegakkan Etika Pariwara Indonesia (EPI) serta berperan aktid dalam proses lahirnya regulasi yang berkaitan dengan industri periklanan.
- Menghimpun, membina dan mengarahkan segenap potensi industri periklanan agar secara aktif, positif dan kreatif, turut serta mewujudkan kesejahteraan bangsa dan negara.
Untuk menyusuri sejarah terbentuknya DPI kita mau tidak mau harus merujuk pada latar belakang terjadinya kesepakatan pada semua komponen industri periklanan pada suatu Standar Etika. Kesepakatan ini dipicu oleh munculnya banyak biro iklan baru pada akhir 1970-an yang menimbulkan banyak masalah etika. Hal ini terjadi karena masih awamnya para praktisi periklanan pada praktik-praktik periklanan yang baik. Selain itu munculnya biro-biro iklan asing atau yang berafiliasi dengan biro-biro iklan raksasa dunia, telah pula ikut menambah terjadinya benturan nilai-nilai budaya Indonesia dengan asing. Ini terjadi karena biro-biro iklan asing ini banyak yang melakukan / menggunakan langsung, atau adaptasi atas materi-materi kampanye periklanan dari negara-negara maju, khususnya yang dari negara-negara barat. Bahkan termasuk iklan-iklan yang melanggar hukum positif seperti barangbarang berbahaya, minuman keras, dan pemasaran hewan-hewan yang dilindungi.
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) asosiasi yang relatif baru dari biro-biro iklan nasional saat itu, merasa terpanggil untuk mencoba membuat standar Etika Periklanan di Indonesia. Di bawah pimpinan Savrinus Suardi dan Indra Abidin yang masing-masing menjabat Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal, PPPI mulai menghimpun rujukan dari beberapa negara maju. Sekaligus mengajak komponen komponen lain periklanan untuk duduk bersama menyusun etika periklanan Sejak awal dicanangkannya tekad untuk menyusun etika itu, PPPI telah berketetapan hati untuk menyusun etika berperilaku para praktisinya, sekaligus dengan etika berbisnis antarperusahaan.
Hal ini sebagian didorong oleh kenyataan terjadinya persaingan kurang sehat antara biro-biro iklan lokal dengan yang dimiliki atau berafiliasi dengan asing. Itu sebabnya sejak rancangan pertama hingga kini, standar etika periklanan sudah mencakup baik yang terkait dengan profesinya (code of conducts), maupun yang terkait dengan usaha atau bisnisnya (code of practices). Kedua sistem nilai inilah yang kemudian disebut Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI). PPPI selain bertindak sebagai pemrakarsa dan koordinator penyusunan standar etika ini, juga memprakarsai ditandatanganinya ikrar besama antarkomponen periklanan nasional. Sukses penyusunan dan pengikraran etika ini direstui oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo, yang ikut menyaksikan pengikrarkan pertama TKTCPI ini pada 17 September 1981. Penandatangan ikrar dilakukan oleh para Ketua Umum asosiasi pendukung, yaitu:
- Asosiasi Pemrakarsa & Penyantun Iklan Indonesia (Aspindo).
- Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GBPSI), kini menjadi Gabungan.
- Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia, dengan singkatan tetap GPBSI.
- Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI).
- Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), yang sekarang disingkat P3I.
- Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), yang sekarang merupakan singkatan dari Serikat Penerbit Pers.
Bersamaan dengan ditandatanganinya ikrar dukungan untuk mematuhi TKTCPI itu, dibentuklah lembaga pengawas dan penegaknya yang diberi nama Komisi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (KTKTCPI). Komisi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Dewan Periklanan Indonesia (DPI). Pada Tahun 1989 anggota KTKTCPI bertambah dengan masuknya Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesisa (AMLI). Asosiasi ini kini menjadi Asosiasi Perusahaan Luar Griya Indonesia, namun singkatannya tetap AMLI. Perubahan dilakukan guna menyesuaikan dengan praktik para anggota asosiasi sejenis di mancanegara yang tidak hanya menangani periklanan media luar ruang (outdoor), namun juga periklanan dalam gerai (in-store), transit, di dinding (wallscape), dan lainlain, sehingga istilah luar griya (out of home) memang lebih sesuai.
Meskipun nama asosiasi ini mengandung kata “indonesia”, tapi sebenarnya asosiasi ini masih berlingkup di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta saja. Ada tiga alasan KTKTCPI menerima bergabungnya AMLI, yaitu:
- Ia merupakan satu-satunya asosiasi periklanan luar-ruang di Indonesia.
- Jakarta saat itu merupakan daerah yang paling lengkap memiliki peraturan tentang periklanan, termasuk periklanan luar-ruang.
- Keberhasilan penerapan standar etika periklanan di Jakarta akan dapat menjadi contoh atau rujukan bagi daerah-daerah lain di Indonesia.
Pada tahun 1991 keanggotaan KTKTCPI bertambah lagi dengan beroperasinya televisi swasta nasional. Yayasan TVRI, sebagai badan usahanya, yang memayungi semua perusahaan Televisi Swasta di masa itu pun diundang masuk, dan menjadi anggota baru KTKTCPI.
Nama Komisi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia sebenarnya tidak mencerminkan semua Peran dan Tugas KTKTCPI. Karena Komisi ini juga berkiprah dalam beberapa kegiatan lain, seperti pendidikan, mendukung penerbitan-penerbitan pers daerah, kampanye layanan masyarakat, dan sosial kemasyarakatan lainnya. Bahkan menjadi penghubung antara industri periklanan dengan pihak Pamong. Karena itu, pada tahun 1992, melalui Baty Subakti, sebagai Ketua Presidum KTKTCPI yang mewakili industri periklanan di Dewan Pers, pada sidang Dewan Pers XXXVIII mengusulkan perubahan nama KTKTCPI. Usul ini disetujui oleh sidang pleno Dewan dan sejak itu nama KTKTCPI yang panjang dan agak rumit itu, diubah dan diringkas menjadi Komisi Periklanan Indonesia(KPI).
Peran periklanan secara khusus tercantum dalam salah satu keputusan Dewan Pers yang berbunyi sbb.:
“Secara aktif, positif dan kreatif menghidupkan dan mengembangkan periklanan yang berbudaya dan bertanggungjawab, sejalan dengan jiwa dan semangat ketentuan Undang -Undang No. 21 Tahun 1982 tentang perubahan atas Undang-Undang No.11 Tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang– undang No.4 Tahun 1967 beserta semua peraturan pelaksanaan lainnya.”
Bahkan peran periklanan bukan hanya melekat pada kehidupan bisnis pers, ia juga diharapkan ikut memberi sumbangan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu sebabnya dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)1998-2003, tercantum peran yang diharapkan negara pada industri periklanan, sbb.:
“Pembangunan periklanan nasional terus ditingkatkan dan dimanfaatkan secara positif dan kreatif untuk mendinamisasikan kegiatan perekonomian masyarakat tentang pembangunan, mengimbangi dan menangkal pengaruh negatif pesan komunikasi pemasaran, meningkatkan kecintaan masyarakat pada produk dalam negeri, dan memantapkan daya saing produk nasional.”
Pada tahun 1999 anggota KPI bertambah lagi dengan masuknya Forum Komunikasi TV Swasta yang kemudian menjadi Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI). Pada 18 Desember 2003, nama perkumpulan ini berubah lagi menjadi Asosiasi Televisi Swasta Indonesia, namun dengan singkatan yang sama, ATVSI. Masuknya ATVSI sebagai anggota baru KPI tidak mengubah atau menganulir keanggotaan Yayasan TVRI yang semula mewakili kepentingan perusahaan-perusahaan TV swasta. Dengan demikian, hingga saat itu anggota asosiasi dan yayasan yang bergabung dalam KPI menjadi delapan Dinamika yang cepat pada industri periklanan menyebabkan upaya penyempurnaan TKTCPI perlu terus dilakukan. Salah satu perubahan yang terjadi adalah masuknya perusahaan-perusahaan TV lokal dalam KPI, yang diwakili asosiasi mereka, Asosiasi TV Lokal Indonesia (ATVLI). Masuknya asosiasi ini menjadikan jumlah anggota KPI menjadi sembilan asoisasi dan yayasan. Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO) pun karena sudah lama tidak aktif, posisinya digantikan oleh Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA). Dinamika industri itu pula yang menyebabkan pada 27-28 Agustus 2002 KPI kembali mengadakan forum pengujian. Kali ini diberi nama Diskusi Besar: Etika Periklanan (DB:EP).
Banyaknya klausul peka dan ketatnya diskusi pada forum itu menyebabkan tidak mudahnya bagi Panitia menyimpulkan hasil-hasilnya. Itu sebabnya lebih setahun kemudian, tepatnya 15 September 2003 dibentuk Tim Perumus untuk penyempurnaan kedua TKTCPI. Selain yang menyangkut isi, seperti tambahan sembilan klausul tentang iklan kebijakan publik (iklan Pamong, iklan politik, dan iklan Pemilu/Pilkada), Tim Perumus juga melakukan perubahan pada dua hal, yaitu:
Pertama, mengubah sebutan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia menjadi Etika Pariwara Indonesia (EPI).
Kedua, sistematika penulisan dengan membuat rincian terpisah antara Ragam Iklan, Pemeran Iklan, Isi Iklan, dan Wahana Iklan.
Sebelumnya keempat hal ini melebur langsung dalam butir-butir ketentuan Tata Krama maupun Tata Cara. Dari hasil kerja keras Tim Perumus inilah, penyempurnaan kedua TKTCPI akhirnya dapat diikrarkan pada 26 Agustus 2005. Meski lebih dari setahun melampaui tenggat yang ditetapkan, yaitu Maret 2004. Cukup lama rentang waktu sebelum para praktisi periklanan menyadari bahwa isi EPI sudah tertinggal lagi dari fakta di lapangan. Hal paling mendasar yang mendorong perlunya dilakukan revisi pada EPI adalah mulai maraknya periklanan digital. Jenis periklanan ini memang belum ditampung dalam kitab-kitab etika periklanan (TKTCPI dan EPI) sebelumnya.
Itu pula sebabnya KPI kemudian merangkul asosiasi periklanan diigtal Indonesian Digital Association (IDA) untuk ikut menjadi anggota KPI, dan sekaligus menjadi pendukung EPI. Bersamaan dengan masuknya IDA sebagai anggota, KPI juga mendapat anggota baru sekaligus pendukung EPI dari produsen film-film iklan yang tergabung dalam Ikatan Perusahaan Film Iklan Indonesia (IPFII). Dengan tambahan dua asosiasi tersebut jumlah total anggota KPI hinga tahun 2014 menjadi 11. Selanjutnya tahun 2015 Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) mewakili perusahaan-perusahaan pengiklan digital advertising masuk sebagai anggota DPI yang ke-12. Terkait iklan digital, beberapa klausul penting yang dicakup dalam penyempurnaan ketiga EPI ini antara lain :
- isi dan format iklan,
- tampilan yang tidak menghambat keleluasaan pengunjung,
- pengukuran efektivitas pesan,
- penanggung jawab materi dan isi pesan,
- cara penarikan data pengunjung, dan
- iklan yang dikhususkan untuk khalayak dewasa
Komisi Periklanan Indonesia (KPI) yang semula bernama Komisi Tata Krama dan tata Cara Periklanan Indonesia (KTKTCPI), mengalami lagi perubahan nama. Hal ini dipicu oleh keluarnya industri periklanan dari ‘keluarga pers nasional’ pasca era reformasi tahun 1998. Ini berarti periklanan tidak lagi menjadi anggota Dewan Pers. Konsekuensi logis dari situasi ini adalah dengan 11 asosiasi yang menjadi anggotanya, KPI sebenarnya sudah dengan sendirinya menjadi sebuah ‘federasi’. Namun ada beberapa alasan lain juga mengapa PPPI sebagai pemrakarsa kemudian mengusulkan perkumpulan ini agar memilih bentuk ‘dewan’. Alasan-alasan itu selengkapnya adalah sbb.:
- Bentuk dan nama bersejarah. Karena industri periklanan sebenarnya sudah pernah memiliki “dewan” pada tahun 1970-an (awal periklanan modern di Indonesia) , ketika dibentuknya Dewan Periklanan Nasional. Tetapi Dewan ini dibubarkan oleh Menteri Penerangan RI, ketika industri periklanan dimasukkan dalam “keluarga pers”. Pembubaran dimaksudkan pihak Pamong agar tidak ada tumpang tindih pembinaan, karena sudah ada Dewan Pers yang saat itu juga memayungi industri periklanan.
- Kesetaraan Fungsi. Adalah kenyataan bahwa periklanan saat itu tidak lagi di bawah payung Dewan Pers, maka wajar jika ia harus pula memiliki peran, fungsi dan tanggung jawab yang setara dengan Dewan Pers dan Dewan Penyiaran, meskipun periklanan tidak, atau belum memiliki Undang-undang.
- Pembinaan dan perwakilan. Penggunaan istilah Dewan menjelaskan, bahwa ia lebih bertujuan untuk pembinaan intern terhadap industri periklanan, sekaligus menjadi lembaga perwakilan yang menjembatani industri periklanan dengan masyarakat, legislator, dan Pamong.
- Keanggotaan komponen. Adalah kenyatan juga, bahwa mereka yang menjadi anggota Dewan Periklanan Indonesia nanti, adalah wakil- wakil dari komponen industri periklanan, bukan para individu yang diangkat.
- Konsekuensi UU. Penggunaan istilah ‘dewan’ juga agar tidak ada kerancuan pada publik, bahwa Dewan Periklanan Indonesia berpadanan dengan misalnya, Komisi Penyiaran dan Komisi Persaingan Usaha (yang bentukan DPR dan Pamong), ataupun lembaga-lembaga lain yang dibentuk sebagai konsekuensi dari diberlakukannya sesuatu Undang-undang.
- Terkait dengan butir “5.” di atas, jika kelak ternyata memang ada UU Periklanan, dan karenanya mungkin dibentuk pula Komisi Periklanan, maka keberadaan, maupun nama Dewan Periklanan Indonesia dapat terus dipertahankan.
- Komunikasi internasional. Masyarakat periklanan internasional umumnya memang sudah menggunakan struktur berbentuk Council (Dewan) sebagai lembaga periklanan tertinggi di negara mereka masing-masing. Bentuk lainnya adalah Authority atau Board. Namun kedua istilah terakhir ini dalam sistem ketata-negaraan kita digunakan untuk bentuk-bentuk organisasi lain. Karena itu istilah ‘dewan’ (council) menjadi yang paling sesuai, sekaligus untuk menjelaskan atau memudahkan komunikasi Dewan Periklanan Indonesia dengan masyarakat/industri periklanan dunia.
Alasan-alasan itu diterima oleh Rapat Presidum KPI, dan sejak itulah KPI beubah nama menjadi Dewan Periklanan Indonesia (DPI).
Sejarah DPI memang berawal dari kebutuhan akan adanya standar etika yang baku dan dihormati oleh para komponen periklanan nasional. Tapi, seperti telah dibahas sebelumnya, dalam kiprahnya kemudian ia ternyata juga dibutuhkan menangani berbagai hal lain, tidak hanya untuk menegakkan masalah tata krama dan tata cara periklanan. Kenyataan memang menunjukkan bahwa Ia dapat dimanfaatkan juga untuk pembinaan intern terhadap industri periklanan, sekaligus sebagai jembatan penghubung antara industri periklanan dengan masyarakat, legislator, dan Pamong.
Namun sejarah juga mencatat bahwa bagian besar dari kegiatan DPI adalah sebagai lembaga pengawas dan penegak etika. Itu sebabnya dari tiga sublembaga yang ada dalam strukturnya, Badan Musyawarah Etika (BME) adalah yang paling aktif dan konsisten menjalankan misinya. Tinjauan dari aspek komitmen atau keterlibatan komponen pendukung, P3I ternyata merupakan asosiasi yang paling aktif dalam lembaga DPI.
Hal ini dapat dimengerti, karena memang P3I-lah yang sehari-hari terlibat langsung dalam kegiatan periklanan, dan menjadikannya sebagai lahan bisnis para anggotanya. Itu pula sebabnya, P3I menjadi satu-satunya asosiasi yang secara internal, memiliki sendiri lembaga pengawas etika. Lembaga yang bernama Badan Pengawas Periklanan (BPP-P3I) ini secara rutin bersidang setiap bulan guna membahas kasus-kasus pelanggaran etika yang melibatkan anggota-anggota P3I.